Pendahuluan: Pengertian dan Tujuan Awal Ijazah
"Ijazah" merupakan sebuah istilah ilmiah yang dirumuskan oleh para ulama Islam pada masa-masa awal periwayatan ilmu. Tujuannya adalah untuk mendokumentasikan validitas transmisi ilmu pengetahuan, yang pada masa itu secara khusus terwujud dalam Al-Qur'an Al-Karim dan riwayat-riwayat Sunnah yang mulia. Melalui proses ijazah ini, seorang penuntut ilmu (atau peneliti) memperoleh hak untuk meriwayatkan (haqq ar-riwāyah), yakni sebuah lisensi untuk menukilkan riwayat dan berpartisipasi dalam kancah keilmuan. Siapa saja yang berhasil meraih ijazah dalam hal bacaan (tilawah) Al-Qur'an, periwayatan hadits, atau periwayatan sebuah kitab, maka ia sejatinya telah memasuki gerbang keilmuan syariah dan mendapatkan izin untuk turut andil dalam menukil serta menyebarkan ilmu di tengah masyarakat.
Asal Usul Kata Ijazah
Secara bahasa (lughah), Ijazah (الإجازة) adalah mashdar (kata dasar/nomina verbal) dari kata kerja ajaaza - yujiizu (أجاز - يجيز). Bentuk jamaknya adalah Ijaazaat (إجازات). Kata ajaazahu dapat berarti 'meluluskannya', 'membolehkannya', 'mengizinkannya', atau 'melaksanakannya'. Kata Ijazah juga bermakna izin (الإذن) dan kebolehan (الإباحة).
Adapun secara istilah (khususnya dalam ilmu hadits), Ijazah adalah izin atau pemberian wewenang dari seorang ahli hadits (Muhaddits) kepada seorang murid (Thalib) untuk meriwayatkan darinya suatu kitab hadits atau kitab ilmu lainnya.
Dalam kitab Tadrib Ar-Rawi, disebutkan penjelasan dari ahli bahasa Abu Al-Husain Ahmad bin Faris Al-Lughawi: "Kata Ijazah dalam percakapan orang Arab diambil dari istilah jawaaz al-maa' (izin melintas atau menggunakan air) yang diberikan kepada hewan ternak atau untuk mengairi lahan pertanian. Dikatakan istajaztuhu fa ajaazanii (aku meminta izin air darinya, lalu ia memberiku izin/air). Demikian pula, seorang penuntut ilmu yastajiizu al-'aalim (meminta ijazah dari seorang ulama), artinya ia memohon agar sang ulama memberinya izin untuk (meriwayatkan) ilmunya, lalu sang ulama pun memberikannya (yujiizuhu iyyahu)."
Ijazah Bukan Jaminan Kompetensi
Akan tetapi, perolehan ijazah ini sama sekali tidak terkait dengan pernyataan mengenai tingkat keilmuan (a'lamiyyah) atau kelayakan orang yang diberi ijazah (al-mujāz) untuk berkontribusi dalam diskursus keilmuan. Ijazah adalah sebuah 'perolehan' formal yang bisa didapatkan oleh siapa saja. Namun, apakah 'kinerja' atau penyampaian ilmunya (adā'uhu) setelah itu diterima atau tidak, itu adalah persoalan lain yang para ulama sangat ketat dalam menilainya.
Mereka menetapkan standar-standar yang adil untuk membedakan antara ulama sejati (al-'ālim al-ḥaqq) dengan 'penyusup' atau 'pengaku-aku' (ad-da'ī ad-dakhīl) yang bisa jadi mendapatkan hak ijazah tanpa kelayakan dan kepantasan yang sesungguhnya. Jadi, tidak setiap orang yang memegang ijazah lantas layak untuk menyampaikan ilmu yang (secara formal) ia sandang hak periwayatannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
«فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ»
(Artinya: Betapa banyak orang yang membawa (meriwayatkan) pemahaman (fiqh) kepada orang yang lebih paham darinya, dan betapa banyak orang yang membawa pemahaman namun ia sendiri tidak paham.)
(HR. Tirmidzi no. 2656, beliau berkata: Hadits Hasan. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).
Evolusi Bentuk dan Fungsi Ijazah Sepanjang Sejarah
Sepanjang sejarah peradaban Islam, ijazah telah melalui berbagai bentuk dan manifestasi, terkadang cenderung ketat dalam persyaratannya, terkadang cenderung lebih longgar:
- Munāwalah (Bentuk Tertinggi): "Seorang guru (syekh) menyerahkan sebagian catatan haditsnya secara tertulis kepada muridnya, seraya memberinya izin untuk meriwayatkannya darinya". Ini dianggap bentuk ijazah tertinggi karena mengandung unsur validasi (tautsīq) yang lebih kuat. Al-Qāḍī ‘Iyāḍ menyatakan: "Ini adalah bentuk periwayatan yang sah menurut mayoritas imam dan ahli hadits."
- Ijazah Tilawah Al-Qur'an: Pemberian kewenangan mengajarkan Al-Qur'an kepada orang lain dengan sanad (silsilah periwayatan) yang bersambung hingga kepada Nabi ﷺ, dari Jibril 'alaihissalam, dari Allah 'Azza wa Jalla.
- Ijazah Fatwa dan Pengajaran: Ijazah tertulis yang memberi wewenang mengajar dan berfatwa berdasarkan penilaian kompetensi. Contohnya adalah ijazah yang dinukil Al-Qalqasyandī dari Ibnu Al-Mulaqqin (w. 1401 M.) yang memberi izin kepada muridnya untuk mengajarkan mazhab Syafi'i, membaca kitab-kitabnya, memberi faedah, dan berfatwa, berdasarkan penilaian atas "ilmu, kesalihan, amanah, pengetahuan, pemahaman, kelayakan, dan kecakapannya". (Shubḥ Al-A’syā 14/367). Ini menunjukkan pergeseran fungsi ijazah menjadi sertifikasi atau lisensi terakreditasi
- Ijazah dalam Ilmu Praktis (Contoh: Kedokteran): Konsep ijazah menjadi lisensi profesional dalam ilmu-ilmu sains dan eksperimental. Contohnya pada masa Khalifah Al-Muqtadir (w. 932 M.), dokter dilarang praktik kecuali telah diuji oleh Sinān bin Tsābit (dokter kepala negara) dan mendapat surat izin/ijazah tertulis yang menyatakan kompetensinya. Maka para praktisi medis mendatanginya, diuji, dan masing-masing diberi izin sesuai keahliannya. Jumlah mereka di kedua sisi Baghdad mencapai 860 sekian orang, belum termasuk dokter senior yang sudah terkenal atau yang bekerja di lingkungan istana. (‘Uyūn Al-Anbā’ fī Ṭabaqāt Al-Aṭibbā’, hal. 302).
- Ijazah di Era Modern: Berkembang menjadi ratusan jenis (sertifikat, gelar akademik) sesuai spesialisasi, institusi, jenjang, lama studi, dll.
Ijazah Modern yang Bernilai: Sertifikasi Terakreditasi
Jenis ijazah dalam pengertian modern inilah (yakni sertifikat atau gelar formal terakreditasi) yang semestinya menjadi fokus perhatian dan tolok ukur. Yaitu ijazah yang:
- Dikeluarkan oleh lembaga terakreditasi yang kredibel, amanah, dan bereputasi baik (universitas, institut, pusat studi, dll.).
- Diatur oleh sistem yang baku dan diawasi.
- Atau berupa rekomendasi dari ulama/syekh terpercaya yang melakukan verifikasi (tatsabbut) kelayakan murid secara cermat.
- Intinya, ijazah tersebut membuktikan bahwa pemegangnya telah menempuh pembelajaran di bawah bimbingan ahli dan mencapai standar kompetensi minimal yang dibutuhkan.
Ijazah Sanad Formalitas: Kelemahan dan Kritik
Berbeda dengan itu, terdapat fenomena ijazah (izin periwayatan sanad) yang populer belakangan ini, terutama di kalangan penuntut ilmu hadits. Ciri-cirinya adalah:
- Izin meriwayatkan/mengajar diberikan tanpa verifikasi (tatsabbut) yang memadai terhadap kelayakan (ahliyyah) dan penguasaan materi oleh penerima ijazah (al-mujāz).
- Ijazah model ini dianggap lemah dan tidak selayaknya menjadi sandaran utama untuk menilai keilmuan seseorang atau mengambil ilmu darinya.
- Nilainya lebih bersifat tabarruk (mencari berkah) dengan silsilah sanad.
Menyikapi fenomena ini, Syekh Abdullah Al-Judai' memberikan kritik tajam:
Beliau menyoroti bagaimana sebagian orang hanya bermodalkan buku catatan berisi daftar judul kitab (Shahīḥain, Kutubus Sunan, dll.) lalu mendapatkan ijazah untuk meriwayatkan semuanya dari seorang guru bersanad, padahal si murid belum tentu memahami, membaca, atau bahkan pernah melihat kitab-kitab tersebut. Beliau menganggap klaim "saya meriwayatkan Bukhari dari Fulan" dalam kondisi seperti ini sebagai bentuk kedustaan dan berbangga dengan sesuatu yang tidak dimiliki (tasyabbu'). Beliau menyimpulkan bahwa banyak pemberi dan penerima ijazah model ini tidak memiliki pemahaman mendalam tentang ilmu yang diijazahkan. (Taḥrīr ‘Ulūm Al-Ḥadīts 1/152-153).
Kesimpulan: Menilai Ijazah Secara Hakiki
Oleh karena itu, penting untuk senantiasa meneliti (taḥarrī) dan membedakan antara:
- Ijazah Hakiki: Bukti nyata kompetensi dan pembelajaran yang teruji di bawah bimbingan ahli dalam sistem yang terverifikasi.
- Ijazah Shuriyyah (Formalitas): Izin atau catatan yang bersifat tampilan luar (seperti sanad periwayatan tanpa penguasaan materi) yang tidak mencerminkan kapasitas keilmuan sesungguhnya.
Pengakuan keilmuan tidak selalu harus berupa sertifikat formal modern. Contohnya adalah Syekh Al-Albani rahimahullah, yang keilmuannya diakui melalui kesaksian (syahādah) dari para ulama besar sezamannya (seperti Syekh Bin Baz dan Syekh Ibnu 'Uthaymin) yang menyaksikan langsung kedalaman ilmu dan pemahamannya. (Rujuk: Ḥayāt Al-Albānī oleh Muhammad Ibrahim Asy-Syaibani, hal. 540-563; Fatwa islamqa.info no. 113687).
Asal Usul Ijazah